Jangan remehkan keberadaan kampung di Surabaya, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh KENTA KISHI peneliti dari Nippon Foundation, budaya kampung yang terpelihara di sana, punya andil besar menjalin ikatan-ikatan masyarakat. Inilah yang membuat Kota Surabaya tetap bertahan, tidak tergerus oleh arus modernisasi a la Barat yang jadi dogma pembangunan masterplanning.
KENTA KISHI dan timnya yang terdiri dari anak-anak muda kota ini sejak Agustus 2010 lalu menjalankan penelitiannya tentang Kampung Surabaya. Tujuannya, mencari pola pembangunan kota yang berkesinambungan berbasis masyarakat dan lingkungannya. Dari sejumlah kota yang ditelitinya di Asia, KENTA KISHI menemukan ‘harta karun berharga' di Kota Surabaya. Jalinan sosial budaya yang terbentuk di kota ini disebutnya unik dan menarik. Unik karena tidak dijumpainya di banyak kota di negara-negara Asia, juga menarik karena memperkaya khasanah teori design community yang didominasi mazhab Fuller's Landscape yakni tree style-operating system yang bersifat sistematis, masterplanning, top-down dan Platform Network yang berciri self policing.
"Di Surabaya, kita menemukan kesinambungan (sustainability) ketiga. Komunitas Kampung di Surabaya sudah melampaui konsepsi Fuller's Landscape. Dia (komunitas kampung-Red) hidup dalam tree style-operating system yang sistematis dan top down karena berada di rangkaian terbawah sistem pemerintahan kota, tapi di sisi yang lain ada budaya kampung yang terdiri dari sikap saling bantu (gotong royong) dan aktivitas-aktivitas kejelataan. Jalinan ini yang membentuk harmoni di komunitas masyarakat," kata dia.
Kebanyakan negara di dunia paska Perang Dunia II, kata KENTA KISHI, menerapkan pola pembangunan kota masterplanning a la Barat. Pada satu sisi, model ini terbukti memang spesifik, fungsional, dan rasional. Tapi di sisi lain, modernisasi yang rasional ini ikut menggerus akar tradisi dan kearifan lokal masyarakat.
"Saya yakin ada konsep pembangunan kota yang tepat untuk diterapkan di negara-negara Asia dan saya menemukannya di sini, di Surabaya," kata dia. Menurut pemegang gelar Master dari Cranbrook Academy of Art, USA ini ada beberapa kasus dimana sebuah kota yang dulunya begitu jadi ‘magnet' namun ditinggalkan dan menjadi kota mati karena tidak adanya jalinan-jalinan seperti yang ada di Surabaya.
KENTA KISHI menyebut contoh kasus di Jepang. Menurut dia, Jepang punya model komunitas masyarakat yang mirip dengan Kampung di Surabaya. Hanya saja, kata dia, shitamachi atau Kampung di Jepang sudah kehilangan rohnya sebagai kampung sejak Perang Dunia I. Ini karena modernisasi yang dimulai sejak Restorasi Meiji, akhir abad 19. Di Kota Beppu, kata KENTA KISHI, pernah jadi kota yang dilirik banyak orang di Jepang. Tak heran karena kota yang berada di Prefektur Oita, Pulau Kyushu ini punya sumber daya alam panas bumi dan keindahan alam yang luar biasa. Modal dan orangpun banyak yang berduyun-duyun ke sana. Namun seiring dengan semakin berkurangnya potensi alam di sana, kota itu ditinggalkan. Bahkan kini penduduknya didominasi manula sehingga pemerintah terpaksa mensubsidi roda kehidupan di sana karena minimnya produksi. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Ciater, Jawa Barat dan Kota Detroit di Amerika Serikat. "Kota Surabaya juga punya peluang ditinggalkan setelah potensinya hilang, tapi tidak akan terjadi selama budaya kampungnya terjaga," jelas KENTA KISHI.
Dari penelitiannya selama 10 bulan di Surabaya, KENTA KISHI akhirnya menemukan model pembangunan kota yang tepat untuk diterapkan di negara-negara Asia, yakni model networking seperti di Kampung Surabaya yang mengedepankan keguyuban, keramahan, perikehidupan yang saling berinteraksi, dan nilai-nilai tradisi yang saling menjaga satu sama lain melampaui sekat-sekat suku, agama, ras, latar belakang ekonomi, dan sosial."Surabaya punya peluang menjadi model Kampung Masa Depan karena kota ini adalah jalinan Kampung yang saling menjaga satu sama lain," pungkas KENTA KISHI.
0 komentar:
Posting Komentar