Pelawak senior bertampang Belanda, Eko Londo (52), duduk santai sambil menikmati kopi susu bersama seorang pegawai UPTD Taman Hiburan Rakyat, Nada bicaranya tinggi, meledak-ledak, meski sesekali ditingkahi tawa berderai. Si pegawai ikut menimpali. Sementara itu, Agus Minto melayani beberapa pengunjung warung kopi di kompleks THR itu. "Kamu tahu nggak? Agus Minto itu sekarang pimpinannya Srimulat. Tapi sekarang dia jadi tukang warung," kata Eko Untoro Kurniawan, nama asli Eko Londo alias Eko Tralala. Eko sendiri bergabung di Srimulat sejak 1984. Dan bersama grup lawak yang pernah berjaya pada era 1970-an dan 1980-an itu, nama Eko Londo pun dikenal publik sebagai hebat. Ayah enam anak itu sudah pernah ditanggap ke sejumlah negara seperti Belanda, Suriname, atau Hongkong. Namun, itu semua masa lalu. Sekarang, menurut dia, Srimulat hanya tinggal nama besar yang sering dibahas di buku-buku, surat kabar, atau jadi bahan skripsi dan disertasi. Sebab, 60-an pemainnya sekarang ini luntang-lantung, bekerja apa saja asal halal. Agus Minto jadi penjual kopi, nasi bungkus, mi, dan makanan kecil. "Saya sih masih punya job di JTV sebagai presenter. Tapi teman-teman yang lain? Kami ini sebenarnya bisa main kapan saja. Nggak usah latihan segala karena jam terbang kami sudah tinggi. Tapi siapa yang nonton?” ujarnya. “Tolong pemerintah daerah itu, pengusaha-pengusaha, kalau punya hajatan mbok nanggap pelawak-pelawak kayak Srimulat ini dong!" tambah pria kelahiran Surabaya 24 Agustus 19547 ini. Agus Minto membenarkan kata-kata Eko Londo, rekannya di Srimulat. Menurut Agus, Srimulat sudah lama sekali vakum dari pementasan rutin meskipun punya gedung sendiri di THR. Kalaupun mentas, animo masyarakat untuk menyaksikan kesenian tradisional ini sangat rendah. Karena itu, pihaknya hanya bisa menunggu tanggapan atau job dari pemerintah atawa pengusaha. "Tapi job ini pun nggak datang-datang," aku Agus Minto yang cenderung pendiam dan santun ini. Bulan depan Srimulat baru akan naik pentas lagi. Itu pun belum pasti karena masih harus melihat situasi dan kondisi dulu. Sambil asyik ngobrol sambil ngopi, tiba-tiba dua pelawak anggota Galajapo datang bergabung. "Dia itu sudah jadi politikus. Porsi pelawaknya sudah sedikit," kata Eko Londo memperkenalkan Priyo Aljabar. Pengasuh acara Cangkrukan di JTV Surabaya itu datang bersama Lutfi Galajapo. "Hahaha.... Cangkemmu!" tukas Priyo Aljabar dalam gaya khasnya yang ceplas-ceplos dan 'urakan'. Lantas, pembicaraan mulai serius tentang nasib pelawak-pelawak Srimulat yang kebanyakan sepi job di usia senja. Priyo meminta agar rekan-rekannya di Srimulat mau memanfaatkan potensi diri. Di era industri televisi yang makin berkembang saat ini, menurut dia, sejatinya banyak peluang yang bisa diambil para pelawak di Jawa Timur. Contohnya Priyo sendiri. Sudah tujuh tahun ini dia mengasuh Cangkrukan, program bincang-bincang Jawa Timuran unggulan JTV. Eko Londo sendiri sudah jadi presenter yang memperkenalkan gedung-gedung tua di Surabaya. "Eko itu unik lho. Potongannya sudah kayak Londo, nggak perlu macak, sudah beda. Seharusnya dia sudah jadi orang yang jauh lebih hebat ketimbang sekarang ini," ujar Priyo. Kali ini nadanya serius. Di mata Eko Londo, kondisi Srimulat sekarang ibarat kerakap di atas batu: hidup segan, mati tak mau. Pemain-pemain yang 60-an orang itu umumnya hidup senen-kemis. Didik Mangkuprojo, yang dulu pelawak top, kini hidup sengsara. Begitu pula nama-nama beken yang pernah beken di era 1980-an. Maka, menurut Eko, pemerintah daerah entah Pemprov Jatim atau Pemkot Surabaya harus segera turun tangan untuk menyelamatkan Srimulat. "Kamu bayangkan saja. Sekali main dibayar Rp 150.000, bahkan ada yang Rp 100.000. Itu pun mainnya hanya sebulan sekali. Kalau main seminggu sekali sih masih lumayanlah," ungkap Eko Londo. Menurut Eko, munculnya stasiun televisi yang sangat beragam sejak tahun 2000-an, baik nasional maupun lokal, dengan konten hiburan bervariasi, siaran 24 jam, membuat kesenian tradisional macam ludruk, ketoprak, wayang, lawak tradisi, sulit bersaing. Di sisi lain, tak banyak seniman tradisional yang mampu beradaptasi dengan industri televisi seperti Priyo Aljabar atau Tukul Arwana. "Nah, untuk bersaing dengan acara televisi yang macam-macam itu kan butuh amunisi. Lha, amunisinya kita sudah habis. Karena gak bisa bersaing itulah, teman-teman sudah banyak yang kehilangan job. Srimulat tidak lagi ditonton orang," kata Eko Londo dengan gaya meledak-ledak. Cangkrukan di warung kopi milik Agus Minto, yang diikuti Priyo 'Cangkrukan' Aljabar itu pun berakhir tanpa kesimpulan. Masa depan Srimulat berikut puluhan pelawaknya tetap saja menjadi tanda tanya
0 komentar:
Posting Komentar