Kamis, 03 Februari 2011

SURABAYA KOTA PELABUHAN

Keberadaan Surabaya sebagai kota pelabuhan makin penting dalam perdagangan rempah-rempah di Jawa Timur (XVII). Terbukti ketika Hendrik Brouwer, seorang Belanda, datang mengunjungi pantai Surabaya (1612) ia menjumpai banyak pedagang Portugis sedang membeli rempah-rempah dari penduduk pribumi. Pedagang pribumi sendiri membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari kepulauan Banda, karena sebelumnya ada persetujuan dengan VOC bahwa orang-orang Banda dilarang berdagang untuk kepentingan sendiri. Sedemikian pentingnya pelabuhan Surabaya di mata para pedagang Belanda, sehingga Jan Pieterzon Coen mendirikan sebuah loji (1617) di Surabaya, sebuah tempat untuk mengadakan hubungan dagang dengan para pedagang di sekitarnya. Sayang, tak ada catatan yang valid menunjukkan di mana letak loji tersebut berada. Yang pasti, Surabaya waktu itu telah menjadi bandar yang sangat penting di wilayah Timur. Gambaran kota Surabaya waktu itu menurut GH Von Faber, Surabayanis asal Belanda yang mencatat sejarah Surabaya dalam Oud Soerabaia, Nieuw Soerabaia, sebagai kota yang mempunyai luas dengan garis tengah 5 mil, sebagian dibatasi dengan tembok, sebagian oleh sungai yang bersih mengalir di bawahnya dan di tepi sungai terdapat meriam. Sebuah sungai yang besar (Kalimas) mengalir melalui kota ini, ada juga beberapa pintu air. Setiap pintu gerbang menuju kota ada 15 sampai 20 orang penjaga dan beberapa orang pemungut cukai yang memungut 10 persen dari jumlah pemasukan.
Deskripsi yang sama pernah diungkapkan Artus Geijsel (1620-an), bahwa lingkaran kota adalah 5 mil. Sebagai pertahanan separoh kota dikelilingi tembok dan separuhnya lagi oleh baliwerti (onggokan tanah). Selain itu seluruhnya dikelilingi parit indah. Diantara tembok dan parit berdiri tanggul yang kuat. Pada setiap jarak tembakan meriam terdapat benteng kecil yang berbentuk bujur sangkar. Setiap benteng ada 10 sampai 12 meriam, sehingga mudah dipertahankan. Di beberapa tempat tinggi tembok melebihi dua kali panjang tembok dan di bawah, selebar 2 langkah, dibuat bersayap-sayap, bersambungan sehingga menyerupai tangga. Melihat panjang tembok (30 km lebih), bisa diduga keberadaan kota tersebut terletak di kedua sisi Kalimas. Istananya? Artus Geijsel melukiskan, istana terletak di daerah kota, kira-kira dekat sungai. Istana atau keraton dikelilingi tembok besar dan di dalamnya terdapat rumah-rumah, seperti keraton Jawa pada umumnya. Di depan gerbang terdapat alun-alun yang tumbuh pohon beringin indah terpangkas. Di bawah pohon ada bangku-bangku, tempat duduk. Pasarnya terletak di depan keraton. Bila kota bagian barat terbentang dari Rode Brug (Jembatan Merah) sampai Baluwarti, berarti alun-alun yang dulu disebut Stadstuin atau taman kota, terletak kurang lebih di bagian tengah. Sebelah selatan termasuk daerah sakral karena terdapat gang Keraton (dekat Kramat Gantung). Di situ juga terdapat sebuah kepatihan dan daerah Tambakbayan yang diperkirakan sebagai tempat tinggal Adipati Tambakbayan alias Sanjata. Singkatnya, menurut catatan Faber, Surabaya pernah menjadi bagian dari wilayah kerajaan Demak (1483-1542), lalu selama kurang lebih 30 tahun di bawah kekuasaan Madura, kemudian di bawah kekuasaan Pajang (1570-1587). Selanjutnya Surabaya berada di bawah supremasi Mataram (1625-1743). Setelah itu (11 November 1743), Paku Buwono II dari kerajaan Mataram di Surakarta menyerahkan haknya atas seluruh pantai utara Pulau Jawa dan Madura kepada VOC, sebagai balas budi karena VOC telah banyak membantu hingga ia berhasil naik tahta Mataram. Dengan diserahkannya pantai utara Jawa dan Madura kepada VOC, Belanda lalu mendirikan struktur pemerintahan baru dengan kedudukan gubernurnya di Semarang. Sedangkan di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oosthock (penguasa bagian timur pulau Jawa). Penguasa VOC yang di Surabaya yang diangkat adalah Keyser (1746). Ia bertempat tinggal di sebuah bangunan yang diberi nama Rumah di Atas Bukit. Rumah ini merupakan bagian dari kompleks perbentengan pertama Belanda (Fort Rethancement) yang ada di Surabaya. Kompleks tersebut letaknya sekarang kurang lebih berada di daerah kantor Gubernur (Jl Pahlawan). Sebelah selatan benteng berdiri pemukiman keluarga tentara Belanda yang menjaga keamanan benteng tersebut. Kompleks ini merupakan pemukiman pertama orang Belanda di Surabaya. Ketika masa Dirk van Hogendorp, penguasa VOC di Surabaya berikutnya, daerah pemukiman orang Belanda kemudian berkembang ke utara, yang pusatnya berada di sekitar Jembatan Merah dan Taman Jayengrono (Willemsplein). Kantor van Hogendorp terletak di depan Taman Jayengrono yang kemudian disebut City Hall. Sebagai kota benteng, kantor penguasa itu pun berfungsi sebagai pusat kota. Karena itu, daerah Jembatan Merah pada abad-abad selanjutnya merupakan pusat kota Surabaya masa lampau. Di samping itu ia juga meluaskan daerah pemukiman Belanda ke selatan sampai daerah Simpang (Jl Pemuda). Bahkan ia membuat sebuah Rumah Taman/kebun (Tuinhuis) yang indah di situ, dekat Kalimas dengan biaya tidak kurang 14.000 ringgit. Rumah kebun tersebut menjadi tempat kediamannya resmi, dan sekarang menjadi Wisma Grahadi. Pastinya, ia terus membangun tempat-tempat pemukiman dalam upaya untuk memperkuat pertahanan kota Surabaya menghadapi serangan dari bangsa Inggris.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Widyaswara | Address : Jl. Kalidami viii/25 Surabaya - Telp.(031) 5926865, 081322430013 | Blogger Templates