Rabu, 02 Februari 2011

RIWAYAT KAPASAN

Pada tahun 1700-an, kondisi Kapasan sangat buruk dibandingkan daerah pecinan Surabaya yang lain seperti Kembang Jepun, Slompretan, Karet, atau Cokelat. Mengerikan! Menurut catatan sejarah, sebelum tahun 1900, Kapasan dikenal sebagai kawasan hutan randu yang rimbun. Nama Kapasan sendiri diambil dari kapas, sebutan randu dalam bahasa Melayu-Tionghoa. Saking rimbunnya, Kapasan menjadi tempat persembunyian maling, perampok, pembunuh, serta para pelaku kejahatan lainnya. Petugas patroli Belanda pun keder. Menurut Lukito S. Kartono, dosen arsitektur Universitas Kristen Petra, yang banyak meneliti arsitektur dan permukiman Tionghoa di Jawa, petugas Belanda hanya berani mengejar penjahat sampai di ujung Kembang Jepun. Tidak berani melintasi Kali Pegirikan. Nah, pada abad ke-19 terjadi eksodus besar-besaran warga Tionghoa ke Surabaya. Selain dari Tiongkok, yang dilanda kelaparan pada masa Dinasti Qing, banyak pula perantau Tiongkok di luar Jawa datang ke Surabaya. Mereka terkena pemutusan hubungan kerja besar-besaran di perusahan tambang. “Kondisi mereka benar-benar mengenaskan. Kalau kita lihat foto-foto lama, waduh, gak mentolo deh. Para perantau Tiongkok ini melaratnya luar biasa,” kata Lukito Kartono di depan sekitar 70 peserta Melantjong Petjinan Soerabaia V di Kapasan Dalam, Ahad (10/10/2010). Pada 1870, di Batavia, terjadi pembunuhan terhadap warga Tionghoa oleh aparat Hindia Belanda karena dituduh ikut membantu gerakan pemberontak. Maka, banyak warga Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta) hijrah ke Surabaya. Tentu saja, Surabaya kewalahan menghadapi kedatangan warga Tionghoa dalam jumlah besar ini. Apalagi, kawasan pecinan lama di Kembang Jepun dan sekitarnya sudah padat. Menurut Lukito, orang-orang Tionghoa itu meminta bantuan Mayor The Goan Tjing agar diberikan tempat tinggal. Berkat jasa Mayor The, para pendatang Tionghoa itu diizinkan babat alas alias membuka hutan di Kapasan. Lalu, dibuatlah perumahan sederhana dan instan ala rumah-rumah bedeng. Bangunan memanjang, disekat-sekat, kemudian ditempati banyak orang. “Maka, kampung Kapasan Dalam ini punya ciri khas rumah-rumah panjang, banyak kamar. Sangat sederhana. Cuma sekarang tinggal beberapa rumah tua yang tersisa. Yang lain sudah dibongkar dan dibangun baru,” jelas Lukito sembari menunjuk sejumlah bangunan lama khas Kapasan Dalam. Karena para pendatang Tionghoa ini tak punya uang, Mayor The Goan Tjing memberikan pinjaman uang bagi para perantau di Kapasan untuk modal usaha. Tapi tak mudah membuka usaha kecil-kecilan pada zaman sulit di permulaan abad ke-19. ada sejumlah warga Tionghoa yang sukses di Kapasan, khususnya di pinggir jalan raya, tapi jauh lebih banyak yang tinggal miskin. Penghuni rumah panjang di gang-gang ini bekerja sebagai kuli bangunan, pelayan toko, tukang jahit, tukang pangkas, tukang jam, dan sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Widyaswara | Address : Jl. Kalidami viii/25 Surabaya - Telp.(031) 5926865, 081322430013 | Blogger Templates